Meski Dilarang Pemerintah, Pelajar Muslimah India Istiqamah Berhijab

Senin, 21 Februari 2022

INDIA, (INDOVIZKA)- Mereka tetap istiqamah berhijab meski pemerintah setempat telah melarang penggunaan hijab di ruang kelas. Para pelajar muslimah di Negara Bagian Karnataka, India, terus melakukan perlawanan atas larangan penggunaan hijab di lembaga pendidikan. Mereka tetap istiqamah berhijab meski pemerintah setempat telah melarang penggunaan hijab di ruang kelas sejak awal Februari.

Pada Sabtu (19/2), banyak dari mereka yang tetap mengenakan hijab saat datang ke sekolah dan kampus masing-masing. Karena aturan tersebut didukung perintah sementara Pengadilan Tinggi Karnataka, para siswi serta mahasiswi Muslim tersebut dilarang masuk ke lingkungan sekolah dan kampus mereka.

Hal tersebut seperti yang terjadi di Srisaila Jagadguru Vageesha Panditaradhya (SJVP) College di Harihar. Mahasiswi-mahasiswi Muslim berhijab dilarang memasuki area kampus. Mereka menolak melepaskan hijabnya dan menekankan bahwa mengenakan hijab sama pentingnya dengan pendidikan.

Pemandangan serupa berlangsung di Sarala Devi College di Ballari. Sekelompok mahasiswi Muslim dilarang masuk karena memakai hijab. Pelarangan masuk bagi mahasiswi Muslim berhijab juga terjadi di Government College di Gangavathi di Koppal. Di Desa Kudur, Distrik Ramanagara, beberapa mahasiswi menggelar unjuk rasa di halaman kampus setelah dilarang masuk ke ruang kelas.

"Kami tidak akan duduk tanpa penutup (hijab). Biarkan kampus menyadari bagaimana hal itu memengaruhi pendidikan kami," ujar seorang mahasiswi, dikutip dari laman Outlook India, Ahad (20/2).

Seorang mahasiswi, Bibi Ameena, masih tak dapat menerima aturan pelarangan pemakaian hijab di ruang kelas. "Tidak ada rasa kemanusiaan untuk perasaan kami," katanya.

Ameena menilai, bagi para wanita Muslim, mengenakan hijab dapat menimbulkan perasaan aman. Menurut dia, larangan pemakaian hijab bagi pelajar di sekolah menengah atas dan perguruan tinggi bakal menimbulkan dampak besar.

"Saya merasa banyak perempuan akan mati, mereka akan bunuh diri. Larangan ini mengejutkan bagi kami, ini seperti trauma bagi kami. Kami tak dapat keluar tanpa hijab," ucapnya.

Pada 9 Februari lalu, Pengadilan Tinggi Karnataka menggelar sesi untuk mendengar petisi yang diajukan para remaja dan gadis Muslim di sana. Dalam petisinya, mereka meminta pemerintah mengizinkan pemakaian hijab di lembaga pendidikan.

Advokat senior yang menjadi pengacara para gadis Muslim tersebut, Devadatt Kamat, mengatakan, praktik penggunaan hijab dilindungi oleh konstitusi kebebasan beragama. Hal tersebut dijamin konstitusi India. Oleh sebab itu, dalam pandangan Kamat, negara tidak memiliki kekuatan untuk melarang.

Dalam sidang terbaru pada Jumat (18/2), Advokat Jenderal Karnataka Prabhuling Navadgi mengatakan, hijab bukan merupakan praktik agama Islam yang penting atau esensial. Menurut Navadgi, mencegah pemakaiannya tidak melanggar jaminan konstitusional kebebasan beragama.

"Kami telah mengambil sikap bahwa mengenakan hijab bukanlah bagian penting dari agama Islam," ujar Navadgi di hadapan Ketua Hakim Ritu Raj Awasthi, hakim JM Khazi, dan hakim Krishna M Dixit, dikutip laman NDTV.

Dia mengatakan, tak ada pelanggaran hukum saat Pemerintah Karnataka meluncurkan aturan larangan pemakaian hijab dan syal safron di ruang kelas.

"Tidak ada masalah hijab dalam aturan pemerintah. Perintah pemerintah itu sifatnya tidak berbahaya. Itu tidak memengaruhi hak-hak para pemohon," kata Navadgi.

Jaksa Agung telah menolak tuduhan sejumlah mahasiswi Muslim yang menyebut larangan pemakaian hijab di ruang kelas melanggar Pasal 25 Konstitusi. Pasal itu memberikan kebebasan hati nurani dan profesi, praktik, serta penyebaran agama yang bebas kepada warga negara India.

Menurut Navadgi, peraturan larangan hijab di ruang kelas yang dirilis pemerintahan Karnataka juga tak menabrak Pasal 19 (1) (a) Konstitusi. Pasal itu menjelaskan tentang jaminan kebebasan berbicara dan berekspresi bagi semua warga India.

Selagi proses pertimbangan petisi, Pengadilan Tinggi Karnataka telah menerbitkan perintah sementara yang melarang pemakaian hijab, selendang safron, syal, dan bendera agama apa pun di dalam kelas.

Polemik larangan mengenakan hijab di Karnataka, India, mendapat sorotan dari dunia internasional. Kelompok hak asasi di Turki mengadakan aksi protes, menentang larangan penggunaan jilbab di Karnataka. Protes dilakukan di Istanbul pada Sabtu (19/2).

Aksi tersebut diprakarsai Free Thought and Educational Rights Society (Ozgurder) dan Association for Human Rights and Solidarity for the Oppressed (Mazlumder). Beberapa warga terlihat berkumpul di sekitar Konsulat Jenderal India.

Seperti diberitakan Anadolu Agency pada Ahad (20/2), Ketua Ozgurder Ridvan Kaya mengatakan, larangan itu adalah puncak dari kecenderungan anti-Muslim dan nasionalisme India, yang semakin berani dalam beberapa tahun terakhir. Dia juga menggarisbawahi bahwa "penindasan" terhadap 200 juta Muslim India harus diakhiri.

Di sisi lain, seorang aktivis hak asasi manusia dan pengacara Gulden Sonmez menekankan, larangan hijab di India tidak dapat diterima. "Kami tidak menyetujui larangan pakaian komunitas agama apa pun," katanya.

Pakar pendidikan India menyampaikan, permasalahan yang ditimbulkan dari kebijakan larangan jilbab di perguruan tinggi India bisa memicu kemunduran pendidikan bagi para perempuan Muslim. Hal itu mengingat banyaknya mahasiswi yang telah berjanji tak memasuki ruang kelas tanpa jilbab mereka.

Ahli pendidikan pembangunan Niranjanaradhya VP khawatir perempuan Muslim di India mengalami kemunduran di bidang pendidikan. Dia mengatakan, isu jilbab yang sedang berlangsung, yang diciptakan oleh kekuatan komunal, menciptakan semacam ketakutan, kecemasan, dan ketidakamanan bagi anak perempuan Muslim.

Permasalahan itu diyakini sangat bisa memengaruhi status psikososial mereka di lingkungan sosial yang terganggu. "Bahkan, orang tua juga dapat menekan gadis-gadis ini untuk menghentikan pendidikan mereka," katanya, dilansir the Hindu, Sabtu (19/2).

Ilmuwan politik senior Muzaffar Assadi mengatakan, kontroversi jilbab telah menjadi ajang kontestasi antara agama dan pendidikan, masyarakat dan sistem.

"Gadis-gadis Muslim makin memilih pendidikan tinggi. Namun, dengan perkembangan ini, mungkin ada kemunduran dengan menarik anak perempuan dari pendidikan modern sekuler," ujarnya.