Menimbang Ulang Penjualan Stadion Utama Riau

Dr. Andree Armilis, MA

PEKANBARU, INDOVIZKA.COM- Rencana Pemerintah Provinsi Riau menjual Stadion Utama Riau menimbulkan pertanyaan besar di tengah publik. Stadion yang dibangun dengan anggaran lebih dari satu triliun rupiah ini merupakan salah satu aset infrastruktur olahraga terbesar di luar Pulau Jawa. Namun sejak digunakan sebagai venue utama Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII tahun 2012, pemanfaatannya cenderung stagnan.

Jika ditinjau dari perspektif manajemen strategik, keputusan untuk melepas aset strategis seperti stadion harus diambil dengan sangat hati-hati. Ini bukan sekadar soal hitungan fiskal jangka pendek, tetapi menyangkut strategi jangka panjang pemerintah daerah dalam mengelola infrastruktur publik serta menciptakan nilai sosial dan ekonomi bagi masyarakat.

Menurut data yang dirilis sejumlah media lokal, biaya per kursi di stadion ini mencapai lebih dari 19 juta rupiah—angka fantastis yang kini tampak tidak sebanding dengan manfaat yang dihasilkan. Namun, persoalan utamanya bukan semata pada besarnya biaya pembangunan, melainkan pada kegagalan manajerial dalam mengelola dan menghidupkan aset ini secara berkelanjutan.

Kita perlu bertanya: apakah telah dilakukan analisis biaya-manfaat yang komprehensif? Sudahkah opsi revitalisasi melalui kemitraan publik-swasta (PPP) dipertimbangkan secara serius? Bagaimana dengan upaya diversifikasi fungsi stadion untuk kegiatan masyarakat, olahraga lokal, atau wadah bagi UMKM?

Sayangnya, langkah menuju penjualan stadion ini terkesan lebih sebagai reaksi atas tekanan fiskal daripada hasil dari perencanaan strategis yang matang dan inklusif.

Penjualan aset publik memiliki implikasi sosial-politik yang serius. Dalam konteks demokrasi lokal, kebijakan seperti ini seharusnya melibatkan partisipasi publik. Masyarakat berhak tahu, didengar, dan dilibatkan dalam setiap keputusan yang menyangkut ruang publik mereka. Stadion bukan sekadar bangunan; ia adalah simbol identitas kolektif, ruang partisipasi sosial, dan potensi pengembangan komunitas.

Infrastruktur seperti stadion mestinya diposisikan sebagai katalis pertumbuhan daerah, bukan dianggap beban anggaran. Ini saatnya pemerintah daerah berpikir lebih inovatif: membentuk konsorsium pengelolaan, menggandeng sektor swasta dalam skema kerja sama operasional, atau menyerahkan sebagian fungsi stadion kepada komunitas olahraga dan budaya lokal.

Menjual stadion mungkin solusi pragmatis, tetapi bukan solusi strategis. Pemerintah harus keluar dari pola pikir jangka pendek dan mulai menata kebijakan publik dengan visi yang inklusif, partisipatif, dan berkelanjutan






[Ikuti Indovizka.com Melalui Sosial Media]


Tulis Komentar