Sidang Dugaan Pemerasan 61 Kepala Sekolah

Hakim Minta Ketua PGRI Inhu Langsung Hadir di Ruang Sidang


PEKANBARU (INDOVIZKA) - Perkara dugaan pemerasan oleh oknum jaksa terhadap 61 kepala SMP di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (11/1/2021). Sidang mengagendakan meminta keterangan saksi.

Persidangan dilakukan secara virtual dengan majelis hakim yang dipimpin Saut Maruli Tua Pasaribu berada di Pengadilan Tipikor bersama Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sementara tiga terdakwa berada di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung, Jakarta.

Dalam perkara ini, duduk sebagai tersangka mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Inhu, Hayin Suhikto, mantan Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Inhu, Ostar Al Pansari, dan mantan Kasubsi Barang Rampasan, Rionald Febri Rinaldo SH.

JPU dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Riau menghadirkan lima orang saksi. Mereka Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Inhu, Eka Satria dan empat orang kepala sekolah.

Saat persidangan, majelis hakim meminta Eka Satria hadir langsung di ruang persidangan, dan tidak dimintai keterangan secara online. Pasalnya, ia dinilai sebagai saksi kunci yang mengkoordinir pengumpulan uang untuk diserahkan ke para terdakwa.

"Karena saudara Eka Satria ini saksi kunci yang merupakan koordinator para kepala sekolah, kami minta hadir langsung di ruang persidangan. Kalau melalui vidcom suara saksi tidak jelas," kata Saut.

Saut mengatakan, keterangan Eka Satria sangat menentukan nasib para terdakwa. "Ini menyangkut masalah hak para terdakwa," tutur Saut.

Ketiga terdakwa didakwa melakukan pemerasan terhadap 61 kepala SMP di Inhu sebesar Rp1,5 miliar.

Perbuatan para terdakwa terjadi pada bulan Mei 2019 sampai dengan Juni 2020 lalu. Hayin menerima uang Rp 769.092.000, Ostar menerima Rp275 juta dan satu unit iPhone X sedangkan terdakwa Rionald menerima uang Rp115 juta.

Penerimaan uang itu berawal ketika kepala SMP itu menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2016 hingga 2018. Ada laporan pengelolaan dana diduga diselewengkan.

Bukannya melakukan penyelidikan, dan pelaksanaan tugas sesuai prosedur yang berlaku terhadap adanya dugaan Tidak Pidana Korupsi dalam pengelolaan dana BOS itu, para terdakwa justru meminta uang kepada para kepala SMP agar kasus tidak dilanjutkan.

Tindakan para terdakwa bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan 6 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pasal 10 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 23 huruf d, e dan f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Selanjutnya, Pasal 4 angka 1 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Pasal 4 huruf d, Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007 perihal Kode Etik Perilaku Jaksa, Peraturan Jaksa Agung Nomor 006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI.

Terdakwa juga melanggar Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-039/A/JA/10/2010 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.






Tulis Komentar