Bukan karena Sakit Hati

Rusli Effendi Sebut Soeharso Monoarfa Orang Titipan Jokowi untuk Bungkam PPP

Rusli Effendi.

JAKARTA (INDOVIZKA) - Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bidang antar lembaga yang juga Ketua Gerakan Penyelamatan (GP) PPP, Rusli Effendi, menegaskan, tindakan meminta Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemkumham) untuk menolak daftar pengurus DPP PPP hasil Muktamar PPP ke-9 di Makassar, Sulawesi Selatan, bukan atas dasar sakit hati.

Melainkan semata-mata untuk menyelamatkan partai berlambang Kakbah itu, dari upaya pembungkaman politik oleh pihak penguasa yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebut-sebut melakukan intervensi kepada PPP dengan menitipkan Soeharso Monoarfa untuk menjadi Ketua Umum (Ketum) PPP.

"Bukan karena sakit hati, tetapi ini memang gerakan penyelamatan PPP dari ancaman pembungkaman politik, melalui campur tangan penguasa. Karena kepada saya sendiri dan teman-teman pengurus DPP, Soeharso Monoarfa mengakui dirinya tidak mau jadi Ketum melainkan Presiden Jokowi yang memintanya," ujar Rusli Effendi kepada INDOVIZKA.com, Kamis (11/2/2021).

Selain meminta Kemenkumham untuk menolak kepengurusan DPP di bawah kepemimpinan Soeharso Monoarfa itu, dia juga mendesak Soeharso Monoarfa serta 44 pengurus DPP PPP hasil Muktamar PPP ke-9 di Makassar tersebut untuk mundur. Dengan alasan susunan pengurus DPP PPP tidak sesuai AD/ART partai.

“Setelah kami cermati, pelajari, dan menimbang ternyata proses keterpilihan Ketua Umum DPP PPP tak sesuai AD/ART Partai, berikut dalam penyusunan pengurus DPP PPP yang terdiri dari 45 orang pengurus," tegas politisi senior PPP asal Riau itu.

Sebelumnya, GP PPP pada Selasa (9/2/2021), menggelar konferensi pers yang dihadiri para mantan pengurus DPP PPP periode 2016-20120 antara lain; Rudiman, Makmun Halim, Mustaqim, Muhlisin, Hj. Maryam Thowil, Joko Krismianto, dan Rusli Effendi.

Menyampaikan pernyataan sikap, dari para pendiri, tokoh, kader, dan simpatisan PPP seluruh Indonesia, yang meminta Soeharso Monoarfa mundur, karena jelas ada intervensi dari Presiden Jokowi. Saat ditanya apakah ada bukti dari intervensi tersebut, Rusli menyatakan pasti ada.

“Nanti, jika diperlukan, akan kami berikan,” jelasnya.

Dia sempat mendengarkan suara Suharso Monoarfa jika dirinya memang diminta Presiden Jokowi untuk memimpin PPP.

Menurut Rusli, Muktamar PPP ini terbukti tidak melalui proses yang benar. Ditambah lagi meninggalkan kader-kader terbaik PPP selama ini.

“Bayangkan putra Mbah Maimoen, Wagub Jateng Taj Yasin, Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum-lah, dan masih banyak lagi yang tidak masuk kepengurus PPP periode 2020 – 2025. Sementara ada Ketua dan Bendahara Umum yang suami istri,” jelas Rusli lagi.

Selain itu lanjut Rusli, ada kader Golkar putra dari Bambang Soesatyo, kader PKB Banyuwangi, ada kader Hanura Anggie Patturusi malah masuk DPP PPP. Karena itu, GP-PPP berharap semua kader dan komponen PPP bersatu kembali sebagaimana fusi PPP tahun 1973.

Oleh sebab itu, GP-PPP menyampaikan lima (5) tuntutan yaitu; pertama minta Soeharso Monoarfa dan anggota tim formatur untuk meninjau kembali susunan pengurus PPP periode 2020 – 2025, kedua minta Kemenkumham RI agar menolak mengesahkan susunan kepengurusan DPP PPP sampai masalah intrrnal partai seleaai.

Ketiga, Muktamar PPP tak sesuai AD/ART partai dimana AD/ART dan lambang partai diubah pasca Muktamar, keempat ada intervensi Presiden Jokowi, dan kelima jika tuntutan ini diabaikan, maka GP – PPP akan menuntut secara hukum.






Tulis Komentar