Pilihan
Presiden Segera Keluarkan Perpres Media Sustainability
Senam Inhil Sumbang Medali Emas Perdana di Porprov X Riau
Kejagung Tuntut Mati Terdakwa Asabri, Koruptor Diyakini Bakal Kapok
JAKARTA (INDOVIZKA) - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendukung langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menuntut mati terdakwa korupsi Asabri, Heru Hidayat. Menurut dia, tuntutan tersebut masuk ke dalam terobosan hukum meskipun belum diatur dalam Undang-Undang (UU).
Boyamin menjelaskan, selama ini wacana hukuman mati bagi koruptor hanya disuarakan oleh aktivis antikorupsi dan LSM. Sementara saat ini, telah disuarakan oleh lembaga resmi penegak hukum.
"Meskipun baru parsial, semoga jadi solusi pemberantasan korupsi dengan terjadinya tuntutan mati untuk kasus korupsi," kata Boyamin saat dihubungi merdeka.com, Selasa (7/12).
- PWI Riau Tuan Rumah HPN 2025 Diharapkan Melibatkan Generasi Muda
- Ingin Mengubah Status di KTP Sangat Mudah, Begini Caranya
- Kapan Pelantikan Anggota Dewan Terpilih 2024? Cek Jadwalnya
- Gugatan Hasil Pilpres 2024 Ditolak MK, Begini Respons Tim Hukum Anies
- Senin Pagi, MK Bacakan Putusan Gugatan Sengketa Pilpres 2024
Boyamin menambahkan, hukuman pidana mati bagi koruptor baru diatur untuk pelaku yang dilakukan berulang kali atau residivis. Koruptor juga bisa dihukum mati apabila berdampak luas terhadap ekonomi nasional.
Oleh sebab itu, untuk tuntutan Heru Hidayat ini, dia menilai sebagai sebuah terobosan hukum dari penegak hukum. Menjadi perluasan makna yang harusnya kategori residivis, kini dua kali korupsi meski belum pernah divonis penjara.
Diketahui, dalam kasus Heru Hidayat, terdakwa terbelit dua kasus hukum sekaligus. Yakni PT Jiwasraya dan Asabri. Keduanya merugikan negara hingga triliunan rupiah.
"Setidaknya ada dasar hukumnya pengulangan, Heru Hidayat belum masuk kategori pengulangan residivis, hanya bersama-sama melakukan korupsi yang dianggap besar di Jiwasraya dan Asabri," kata Boyamin.
"Ini bentuk terobosan, perluasan makna pengulangan bukan sekadar masuk penjara, tapi melakukan korupsi berulang-ulang," tambah dia.
Oleh sebab itu, dia mendorong hakim perlu mengamini tuntutan mati koruptor tersebut. Meskipun sekali lagi, belum diatur dalam UU. Tapi hakim boleh meluaskan makna UU soal frasa ‘pengulangan’ melakukan korupsi tersebut.
"Sekarang tuntutan mati diperluas dan itu boleh. Hakim boleh meluaskan makna. Meluaskan arti menyempitkan arti boleh hakim, tapi ini maju lagi, dimulai oleh Jaksa Penuntut Umum," tegas Boyamin.
Dia yakin hukuman mati mampu membuat jera para pelaku koruptor. Sebab, selama ini, hukuman korupsi terbilang kecil. Belum lagi dipotong masa tahanan, remisi, asimilasi dan bebas bersyarat.
"Ini saya anggap sebagai salah satu solusi untuk pemberantasan korupsi yang lebih baik," katanya.
Tuntutan Heru Hidayat
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut mantan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dengan hukuman mati dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).
"Menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," kata jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (6/12)
Menurut Jaksa, tuntutan hukuman mati kepada Heru layak diberikan, karena Heru juga terlibat dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, dengan pidana penjara seumur hidup.
"Terdakwa merupakan terpidana seumur hidup dalam korupsi di Jiwasraya yang merugikan negara Rp16 triliun lebih," katanya.
Lalu, hukuman itu pantas diberikan ke Heru karena tindakan korupsi masuk dalam kejahatan luar biasa. Dia juga tidak mendukung pemerintah dalam membuat penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam kasusnya, jaksa menilai tidak ada tindakan yang bisa meringankan hukuman Heru. Beberapa hal meringankan yang ada di persidangan ditolak jaksa.
"Meski dalam persidangan ada hal-hal yang meringankan dalam diri terdakwa namun, hal-hal tersebut tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan akibat dari perbuatan terdakwa. Oleh karena itu hal-hal tersebut patutlah dikesampingkan," tegas jaksa.
Jaksa juga meminta hakim memberikan hukuman pidana pengganti Rp12,64 triliun ke Heru. Hukuman pidana pengganti itu wajib dibayar dalam waktu sebulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap.
"Dengan ketentuan tidak dibayar sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk uang pengganti tersebut," ujar jaksa.
Berita Lainnya
Anggota Komisi IX Klaim Aturan JHT Cair di Usia 56 Tahun Tak Pernah Dikonsultasikan
Cara Daftar Kartu Prakerja Gelombang 4 Yang Dibuka Hari Ini
Dorong Percepatan Ekonomi, Januari 2020 Pemerintah Cairkan Dana Desa 40%
Hore! Ini Bocoran Pencairan THR dan Aturan Terbaru dari Pemerintah untuk Lebaran 2022
Operasi Zebra Jaya 15-28 November 2021, Polisi Pastikan Tidak Ada Razia
Surat Izin Turun, Alat Deteksi Covid-19 Buatan UGM GeNose Siap Diedarkan
Survei Cawapres 2024: Sandiaga Uno Tertinggi, Disusul Anies dan Ganjar
Mulai April 2021, Pelanggan 450 VA Tak Lagi Dapat Listrik Gratis
PSN Diharapkan Bisa Serap Banyak Tenaga Kerja
Silaturahmi, PWI Riau Siap Promosikan Potensi Kota Sabang
Ini Jadwal Tahapan Pilkada Serentak 2024, Pendaftaran Pemantau Sudah Dimulai
Jasad Eril Masih Utuh dan Berbau Wangi, Ini Penjelasan Ridwan Kamil