DPRD Pelalawan Minta PT PSJ Ganti Kebun Sawit Petani yang Dieksekusi


PELALAWAN - Pemulihan atau eksekusi lahan sawit seluas 3.323 hektare milik petani dan perusahaan PT PSJ di Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau masih berlangsung. Anggota DPRD Pelalawan Abdul Nasib meminta PT PSJ mengganti lahan kebun sawit petani yang ikut dieksekusi. Sebab lahan PT PSJ lainnya masih luas di Pelalawan.

"Lahan sawit masyarakat itu merupakan tanggung jawab dari PT PSJ. Karena sebagai badan hukum di bidang perkebunan, seharusnya sudah mengetahui areal tersebut merupakan kawasan hutan," ujar Abdul, Rabu (29/1), seperti yang dilansir dari merdeka.

Abdul meminta agar PT PSJ bertanggung jawab atas nasib masyarakat anggota plasma tersebut. Dia memberi solusi, agar PT PSJ mengganti atau mengembalikan seluruh materi dan immateri yang dialami masyarakat yang tergabung dalam koperasi tersebut.

"Sebab, pemulihan lahan PT PSJ itu sudah berkekuatan hukum tetap dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018 terhadap PT Peputra Supra Jaya," jelas politikus Partai Gerindra itu.

Menurutnya, putusan MA yang memvonis PT PSJ telah melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan skala tertentu yang tidak memiliki usaha perkebunan, harus dihormati semua pihak.

"Pelaksanaan pemulihan oleh Kejari Pelalawan sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku. Dengan menyerahkan barang bukti berupa perkebunan sawit tanpa izin seluas 3.323 Ha kepada negara melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau," imbuhnya.

Dia juga menyebutkan, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkebunan, setiap perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan harus memiliki izin usaha perkebunan. Jika dicermati dalam putusan MA bahwa PT PSJ tidak memiliki Izin usaha perkebunan (IUP) untuk areal 3323 ha baik plasma maupun inti.

"PT PSJ memiliki IUP No KPTS.525.3/DISBUN/2011/113 tanggal 27 Januari 2011 seluas kurang lebih 1.500 Ha. Namun fakta lapangan menyatakan luas perkebunan sawit PT PSJ kurang lebih 9.324 Ha," katanya.

Dari 3323 Ha yang dikembalikan kepada negara sesuai putusan MA, masih ada kurang lebih 4.500 Ha lahan PT PSJ yang belum mempunyai izin usaha perkebunan (IUP).

"Dengan demikian masih ada pekerjaan rumah bagi aparat penegak hukum untuk melakukan proses hukum lahan yang dimaksud," terangnya.

Dalam Permentan No 26/2007 pasal 11 ayat 1 Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat, sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun perusahaan.

Dengan catatan kebun yang dibangun oleh perusahaan perkebunan tidak diperkenankan dibangun dalam kawasan hutan baik kebun inti maupun kebun plasma.

"PT PSJ jangan membodoh-bodohi masyarakat Desa Gondai dengan membuat koperasi-koperasi mengatasnamakan masyarakat tempatan yang diberi kebun plasma dalam kawasan hutan. Itu menjerumuskan masyarakat ke ranah pidana," tegasnya.

Abdul akan memanggil dan meminta pertanggung jawaban PT PSJ untuk memberikan kebun plasma sebesar 20 persen, dari total luas areal kebun PT PSJ yang berada di luar kawasan hutan kepada masyarakat tempatan.

Karena menurut Abdul, semangat penertiban dan pemulihan kawasan hutan ini sudah sejalan dengan tujuan Panitia Khusus (Pansus) Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau serta Tim Satgas Terpadu Penertiban Perkebunan Ilegal Riau.

"Telah ada kesesuaian pendapat antara lembaga legislatif dan eksekutif kebun-kebun ilegal harus ditertibkan dan dipulihkan sebagaimana mestinya. Semua pihak harus menghormati putusan hukum yang berlaku serta tidak ada yang menghalang-halangi proses penertiban dan pemulihan," pungkas.

Terkait persoalan eksekusi lahan tersebut, PT PSJ telah melayangkan surat kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, Rabu (22/1), meminta penghentian aktivitas penebangan pohon kelapa sawit milik petani dan perusahaan di Desa Gondai Kabupaten Pelalawan. Surat itu juga ditembuskan ke Gubernur Riau Syamsuar serta sejumlah stakeholder terkait.

"Kami minta DLHK untuk segera menghentikan penebangan pohon kelapa sawit tersebut," kata Kuasa Hukum PT PSJ, Nurul Huda, dilansir dari merdeka.com, Rabu (22/1).

Dia menilai DLHK Riau melanggar pasal 7 ayat 2 huruf F dan pasal 55 Undang-undang nomor 30 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Di pasal 7 ayat 2 huruf F itu disebut bahwa Pemerintah wajib memanggil masyarakat terkait persoalan Putusan Tata Usaha Negara. Lalu di pasal 55 itu dikatakan, setiap keputusan TUN wajib mempertimbangkan aspek hukum, sosiologis dan aspek filosofis," terang Nurul.

Nurul menyebutkan, pelaksanaan eksekusi pidana itu berbagai macam. Kalau pelaksanaan eksekusinya Jaksa Penuntut Umum terhadap suatu putusan pengadilan, itu bisa serta merta dilaksanakan.

"Namun jika pelaksanaan putusan Pengadilan diserahkan kepada eksekutif (DLHK), mestinya DLHK mendengarkan dulu pendapat masyarakat. Bisa saja DLHK mengundang masyarakat untuk membicarakan terkait apa yang bakal dieksekusi," imbuhnya.

Pihaknya mengaku akan melakukan langkah hukum jika permintaannya untuk menghentikan eksekusi diabaikan. "Maka kami akan gugat ke PTUN, Pengadilan Negeri dan laporan pidana. Sebab itu, sederet pelanggaran yang mereka lakukan sudah berbau perdata dan pidana," terangnya.

Untuk permasalahan perdata, PT PSJ akan menuntut ganti rugi sebesar Rp12,4 triliun. "Kebetulan kami sudah minta Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menghitung kerugian tegakan pohon kelapa sawit itu," imbuhnya. *






[Ikuti Indovizka.com Melalui Sosial Media]


Tulis Komentar