Pakar Hukum Minta Jaksa Hentikan Eksekusi Lahan di Pelalawan

Ilustrasi.

PEKANBARU (INDOVIZKA) -  Mahkamah Agung (MA) RI telah menyatakan eksekusi lahan di Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, tidak sah. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu harus dipatuhi.

Pakar hukum, DR Sadino SH MH meminta jaksa selaku eksekutor mematuhi hukum dan menghentikan eksekusi lahan.

"Dalam putusan MA jelas disebutkan eksekusi lahan di Pangkalan Gondai  tidak sah," ujar Sadino, Jumat (2/4/2021) petang.

Sadino yang merupakan jebolan UI menyebutkan,  seharusnya tidak ada lagi pelaksana eksekusi pasca putusan kasasi.

"Putusan itu kan jelas bunyi putusan point 1 sampai 4 putusan kasasi. Ya nggak ada lagi pelaksanaan eksekusi lapangan," tegas Sadino.

Dalam masalah ini, dua perusahaan PT Peputrra Supra Jaya (PSJ) dan PT Nusa Wana Raya (NWR). Namun, konflik antara keduanya berimbas ke petani biasa yang tergabung dalam koperasi.

Dalam perjalanannya, muncul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Nomor 595 K.TUN/2020 yang menyatakan surat perintah tugas nomor 096/PPLHK/082 tanggal 10 Januari 2020 untuk pengamanan atau eksekusi lahan sawit batal atau tidak sah. Sudino mengatakan bahwa putusan itu sudah jelas. Sadino meminta jaksa sebagai instansi yang paham  hukum untuk menjalankan putusan PTUN tersebut.

"Yang mengerti hukum harusnya menjalankan hukum dong. Kan dasar dia eksekusi surat itu, kalau suratnya dibatalkan ya harusnya nggak bisa lagi. Masak penegak hukum yang ngajari melanggar hukum," ucap Sadino.

Untuk itu, ingat Sadino, sisa lahan milik masyarakat Desa Pangkalan Gondai  seluas 1.323 agar tidak lagi dieksekusi.

Sebelumnya, jaksa dikawal polisi meratakan lahan PT Peputra Supra Jaya seluas 2.000  yang merupakan induk para petani itu sudah habis dibabat jaksa. Usai dieksekusi, lahan itu diserahkan ke PT NWR. Kemudian lahan itu ditanami akasia. Puluhan alat berat yang difasilitasi PT NWR digunakan untuk mengeksekusi. 

Dalam perjalanannya, muncul dua putusan MA terkait 3.323 hektare lahan di sana. Pertama soal pidana yang kemudian dieksekusi oleh kejaksaan setempat dan petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau. 

Kedua adalah MA menyatakan surat perintah tugas eksekusi lahan sebagai tindak lanjut putusan pidana tidak sah atau batal. Surat perintah eksekusi itu diterbitkan oleh DLHK Riau. 

Sadino yang juga merupakan Penasehat Hukum Gapki itu mengatakan dalam persoalan ini hanya PT PSJ yang dinilai tunduk terhadap putusan. Sebab dalam putusan pidana dari MA PT PSJ yang menjadi terdakwa. Menurutnya, Putusan MA RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018 yang berisi tentang instruksi mengembalikan lahan kepada negara melalui DLHK Provinsi Riau itu melanggar UU Perkebunan bukan UU Kehutanan.  Kemudian PT PSJ diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan sesuai UU Perkebunan.

"Putusan eksekusi itu hanya lahan PSJ sesuai putusan. Kemudian mengapa lahan masyarakat atau koperasi mau di eksekusi. Harusnya penetapan eksekusi dan pelaksanaannya dilakukan inventarisasi terlebih dahulu mana lahan PSJ dan mana lahan masyarakat," tuturnya.

Menurut pria yang mengenyam S3 di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, seharusnya pemegang izin HTI yang dalam hal ini adalah PT NWR harus menghormati hak pihak lain dan mengganti rugi. Bukan justru malah menggusur dan menerima hasil eksekusi.

"Perlu diteliti izin HTI-nya. Karena disana ada HTI transmigrasi berarti ada masyarakat yang dihadirkan oleh pemerintah yang menjadi kewajiban pemegang izin HTI," tegas Sadino.

Masih kata Sadino, peserta transmigrasi memiliki lahan untuk permukiman dan lahan usaha yg disediakan pemerintah. Sementara dalam perkara ini tidak dikaji lebih dalam.

"Pemerintah dan pemegang izin harusnya menghormati hak keperdataan dari masyarakat  sebagai living law," katanya.

"Untuk proses eksekusi yang bisa dilakukan, tentunya berlaku bagi pihak yang berperkara dan yang dihukum. Bukan orang yang tidak diputus dalam kasus pidana," tutur dia.






Tulis Komentar