RUU Kejaksaan Disahkan, Jaksa Agung Minta Jangan Disalahgunakan


JAKARTA (INDOVIZKA) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Revisi Undang-undang (RUU) Kejaksaan, salah satunya dengan memperluas wewenang Korps Adhyaksa, khususnya para jaksa untuk melakukan penyadapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 C huruf K beleid hasil amandemen.

Atas kewenangan tersebut, Jaksa Agung ST Burhanuddin memperingati kepada seluruh jajarannya untuk menggunakan hak tersebut secara hati-hati dan jangan sampai disalahgunakan dengan melanggar hak privasi.

"Hati-hati dan jangan disalahgunakan dalam menggunakan kewenangan ini karena terkait dengan hak privasi" ujar Burhanuddin dalam keterangannya, Seĺasa (7/12).

Pasalnya, Burhanuddin mengatakan kewenangan melakukan penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana, telah memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyadapan.

"Tidak hanya seputar penyidikan saja, melainkan juga pada tahap penuntutan, eksekusi, sampai pencarian buron," sebutnya.

Sehingga demi mendukung tugas wewenang baru tersebut, Kejaksaan Agung berencana membuang pusat pemantauan atau monitoring center guna menunjang tugas penyadapan.

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan perubahan UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan (RUU Kejaksaan) menjadi undang-undang. DPR mengambil keputusan tingkat dua dalam Rapat paripurna DPR RI ke-10 masa sidang II tahun 2021-2022, Selasa (7/12).

Dalam rapat paripurna ini, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir membacakan laporan Komisi III terhadap pembahasan RUU Kejaksaan. Kemudian diambil keputusan yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang memimpin rapat paripurna.

"Selanjutnya kami akan menanyakan kepada setiap fraksi apakah RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" ujar Dasco yang disambut persetujuan seluruh anggota dewan yang hadir.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir menyebut sejumlah substansi perubahan UU Kejaksaan RI adalah mengenai usia pengangkatan jaksa dan pemberhentian jaksa dengan hormat. Perubahan dilakukan karena penyesuaian pergeseran dunia pendidikan sekaligus memberikan kesempatan lebih panja.

"Panja menyepakati bahwa syarat usia menjadi jaksa paling rendah 23 tahun. Dan paling tinggi 30 tahun," ujar Adies.

Pemberhentian jaksa secara hormat diubah dari sebelumnya maksimal berumur 62 tahun, dikurangi menjadi 60 tahun.

Perubahan UU Kejaksaan juga mengatur meningkatkan penguasaan SDM kejaksaan agar lebih profesionalisme dalam menjalankan tugas dan kewajiban dalam wujud pembentukan pendidikan khusus kejaksaan yang berfungsi sebagai sarana pengembangan pendidikan, profesi, keahlian, dan kedinasan.

UU Kejaksaan baru ini mengatur penugasan jaksa kepada instansi selain kejaksaan. Fungsinya untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman baru.

"Untuk mempermudah penugasan tersebut, revisi UU Kejaksaan mengakomodasi ketentuan tersebut," kata Adies.

Perlindungan jaksa dan keluarga juga diatur dalam perubahan undang-undang yang baru. Sebab, jaksa dan keluarga rentan mengalami ancaman. Serta butuh penyesuaian standar perlindungan jaksa dan keluarga sesuai standar perlindungan profesi jaksa diatur dalam International Association of Prosecutors (IAP).

Substansi baru yang diatur juga ketentuan pemberhentian jaksa agung. Pemberhentian jaksa agung dari jabatannya menyesuaikan berakhirnya masa jabatan presiden dalam satu periode bersama dengan masa jabatan anggota kabinet.

"Hal ini untuk menegaskan bahwa presiden memiliki diskresi siapa saja yang memperkuat kabinet, salah satunya jaksa," jelas Adies.






[Ikuti Indovizka.com Melalui Sosial Media]


Tulis Komentar