Pemerintah Dinilai Perlu Mengatur Toleransi di Bulan Suci Ramadan


JAKARTA (INDOVIZKA) - Ibadah puasa di tengah pandemi Covid-19 saat ini dinilai penting untuk diatur oleh Pemerintah melalui takmir masjid, musholla, dan atau penyelenggara. Dengan alasan segala sesuatu yang menimbulkan madharat, keburukan lebih besar harus diatur oleh negara.

Demikian disampaikan anggota Fraksi PKS MPR RI H. Buchori Yusuf dan peneliti dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Okky Tirto dalam diskusi empat Pilar MPR RI 'Menjaga Toleransi di Bulan Suci Ramadhan' di Gedung MPR RI Senayan, Jakarta, Senin (12/4/2021).

Lebih lanjut Buchori mengatakan kalau masalah toleransi tersebut sudah diatur dalam pasal 29 UUD NKRI 1945 ayat 1 dan 2, dan sudah selesai bagi bangsa Indonesia.

"Kita mengakui ibadah puasa telah menjadi bagian dari tradisi kehidupan sosial masyarakat kita. Hanya saja masalah agama atau SARA ini kembali memanas sejak pilgub DKI Jakarta 2017 silam. Ada kelompok-kelompok yang ingin bangsa Indonesia gaduh," ujarnya.

Setidaknya dalam Islam yang tak boleh ditoleransi kata Buchori ada lima hal pokok; yaitu pertama menjaga agama yang tak boleh diusik oleh siapapun, kedua keturunan, ketiga menjaga jiwa yang meliputi tumpah darah, keempat harta, dan kelima menjaga akal.

"Nah, akal ini bisa dirusak oleh minuman keras. Sehingga tak boleh menjual dan meminum miras secara bebas. Apalagi di bulan Ramadan, maka negara harus hadir," jelas Buchori.

Pada prinsipnya yang tidak berpuasa harus menghornati yang berpuasa dan sebaliknya, yang berpuasa harus pula menghormati yang tak berpusa.

"Tapi, yang tak puasa tak boleh sebebas-bebasnya minuman keras di jalanan, warung, dan sebagainya," ungkap Buchori.

Sementara itu Okky Tirto sependapat dengan Buchori, kalau masalah toleransi sudah selesai bagi bangsa Indonesia. Tapi, urusan kumpul-kumpul seperti buka puasa bersama karena bisa mengakibatkan keburukan, mudharat yang lebih besar di tengah pandemi covid-19 ini, harus diatur oleh negara.

"Memang blunder, sulit bicara relasi agama dan negara karena dianggap masuk terlalu jauh ke dalam urusan agama," tambahnya.

Anehnya kata dia, sikap intoleransi ini banyak terjadi di kota-kota besar, yang notabene pendidikannya tinggi. Dimana begitu bersentuhan dengan agama, justru kelompok ini ada paling depan.

"Itu tak lebih karena klaim, doktrin merasa paling benar dan yang berbeda adalah salah. Karenanya negara tak cukup hanya mengimbau, tapi harus memgatur. Kalau sudah diatur, maka yang melanggar harus dapat sanksi," jelas Okky.**






Tulis Komentar