6,9 Ton Sabu dan Ganja Disita Polri

Terbongkarnya kasus peredaran narkoba jenis di sabu-sabu seberat 4,2 kuintal di Sukabumi, Jawa Barat, menjadi bukti adanya kondisi darurat narkoba di Tanah Air. Foto/ANTARA

JAKARTA - Terbongkarnya kasus peredaran narkoba jenis di sabu-sabu seberat 4,2 kuintal di Sukabumi, Jawa Barat, menjadi bukti adanya kondisi darurat narkoba di Tanah Air. Betapa tidak, hanya dalam waktu enam bulan terakhir polisi berhasil menyita barang bukti kejahatan sabu-sabu seberat 3,52 ton.

Selain sabu, aparat kepolisian juga berhasil menyita ganja 3,35 ton, ”tembakau gorila” seberat 55,26 kg dan 552.427 butir ekstasi. Selama periode yang sama, polisi mengungkap telah terjadi tindak pidana 19.468 kasus. Secara rinci, selama Januari terjadi 4.561 kasus tindak pidana. Pada Februari 5.225 kasus, Maret 4.728 kasus, April 2.893 kasus, dan Mei 2.241 kasus.

Berdasarkan kasus yang ditangani itu, 25.526 orang telah ditetapkan menjadi tersangka. Bila dirinci, pada Januari ada 5.984 tersangka pidana, Februari 6.674 orang, Maret 6.177 tersangka. Kemudian, seiring dengan menurunnya kasus pada April-Mei 2020, jumlah tersangka tindak pidana juga berkurang. Tercatat 3.718 orang jadi tersangka pada April dan 2.973 tersangka selama Mei 2020. Data itu dihimpun dari seluruh jajaran kepolisian daerah. (Baca: Ungkap Penyelundupan Sabu 402 Kg, Polri Bekuk Enam Tersangka)

Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan 4,2 kuintal sabu berhasil disita personel Satgas Merah Putih Bareskrim Polri di Perumahan Vila Taman Anggrek, Sukaraja, Sukabumi, Jawa Barat. “Narkotika jenis sabu-sabu 402.380 gram dengan menangkap enam pelaku,” ujarnya dalam keterangan pers di lokasi penemuan sabu di Sukaraja, Sukabumi, kemarin.

 


Dia menjelaskan, sabu-sabu di Sukabumi merupakan bagian dari jaringan bandar narkoba dengan modus ship to ship di Samudra Hindia asal Iran. Mereka ditangkap setelah tim pimpinan Dirresnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol Heri Heryawan mendapat informasi dari masyarakat. Keenam pelaku tersebut berinisial BK, 45; I, 33; S, 36; NH, 40; R, 41, warga Tasikmalaya; dan YFC, 31, warga Sukabumi. “Total penyitaan barang bukti adalah 402 kilogram sabu,” katanya.

Penangkapan diawali dengan penelusuran tim terhadap jenis kapal yang mengangkut narkoba tersebut. Setelah kapal dipastikan tiba, tim menangkap dua orang kru kapal di Pelabuhan Ratu dengan barang bukti awal 2 kg sabu-sabu. Selanjutnya tim mengembangkan pengungkapan dan berhasil menangkap empat orang lain di Sukaraja, Sukabumi. Dari lokasi itu polisi menyita 400 kg sabu-sabu dalam 339 bungkus plastik bening yang telah dibungkus rapi. Kini para tersangka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan persangkaan Pasal 114 ayat (2) subsider Pasal 112 ayat (2) UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika dengan ancaman pidana 20 tahun penjara.

Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan mengapresiasi kinerja kepolisian yang tidak lengah di tengah kesibukan negara menangani Covid-19. "BNN dan Polri masih bisa bekerja dengan baik dan intelijen mereka bekerja bahwa situasi begini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu dalam melakukan aktivitasnya. Ternyata, ada persoalan yang sangat penting bahwa kondisi ini oleh mafia-mafia narkoba digunakan sebagai kesempatan," kata Trimedya kemarin. 

Politikus PDIP ini mengatakan, dilihat dari berbagai temuan kasus yang ada, kondisi darurat narkoba di Indonesia belum juga berubah. Karena itu, menurut Trimedya, perang terhadap narkoba tidak boleh dilakukan setengah hati. Dia menilai, selama ini perang terhadap narkoba belum dilakukan secara maksimal. "Pak Jokowi kan sering memperingatkan ketika Hari Antinarkoba, nah itu harus disertai dengan anggarannya," kata Trimedya.

Kebijakan anggaran dalam pemberantasan narkoba sangat penting karena aparat di lapangan tidak mungkin bisa maksimal mengungkap kasus jika tanpa disertai anggaran cukup. "Ya, misalnya temuan di Sukabumi itu kan butuh anggaran besar untuk mengungkapnya. Perintah Presiden untuk perang terhadap narkoba ya memang harus benar-benar dijalankan sungguh-sungguh. Kan polisi dalam mengungkap tidak sedikit biaya untuk mengungkap. Di sana ada informan yang bekerja. Nah, indeks untuk kasus narkoba ke depan kalau sudah selesai soal korona ini harus menjadi perhatian Presiden," tuturnya.

Selain itu, kata Trimedya, Polri harus terus mengungkap jaringan mafia narkoba karena mereka tidak mungkin bekerja sendirian. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka memiliki jaringan ke penegak hukum dan para pengambil kebijakan di negara ini. "Dan kalau sampai ke sana, ya Polri dan BNN jangan ragu-ragu untuk mengungkap tuntas. Bisa kita bayangkan kalau ini tidak diberantas, bagaimana nasib generasi muda kita? Lihat di kalangan artis, misalnya, hampir tiap bulan terungkap. Ngeri kita-kita yang punya anak remaja atau mahasiswa ini," tuturnya. 

Karena itu, Trimedya mengingatkan jangan sampai aparat penegak hukum justru "berselingkuh" dengan para mafia narkoba. "Misalnya ada hubungan dengan bandar-bandar. Kan kita sering dengar persaingan antarmafia. Kemudian juga dalam pemusnahan barang bukti, benar-benar itu barang bukti. Jangan yang asli cuma 25 persen," katanya.

Trimedya juga meminta Kapolri bisa memberikan reward yang jelas kepada anak buahnya, terutama di level kapolres atau direktur narkoba yang berhasil mengungkap kasus-kasus besar. "Termasuk juga Polri harus bersinergi dengan Kementerian Hukum dan HAM, lembaga-lembaga pemasyarakatan yang dianggap jadi sarang narkoba itu harus disikat. Perang yang sungguh-sungguh, jangan perang yang sesaat saja," desaknya.

Dia mencontohkan misalnya nanti keadaan kembali normal, tempat-tempat hiburan malam yang buka di atas jam 24.00 itu paling gampang menjadi sarang peredaran narkoba. "Mereka siap kasih aparat dengan jumlah tertentu asal tak dirazia. Makanya, Kapolri dalam menempatkan orang jadi kapolres, direktur narkoba itu harus benar-benar dilihat," paparnya. 

Hal yang harus juga diperhatikan, kata Trimedya, yakni pemberian rehabilitasi. Langkah ini dinilai penting. Namun, jangan juga rehabilitasi kasus narkoba dijadikan sebagai komoditas. "Itu sering untuk komoditas, dan itu mahal rehabilitasi itu, tidak murah. Jadi, sepanjang tidak bisa disediakan anggaran, termasuk orang-orang yang bekerja di situ, maka tak akan bisa perang terhadap narkoba. Ya semu, begini-begini saja," katanya.

Anggota Komisi III Cucun Ahmad Sjamsurijal menilai Indonesia merupakan pangsa potensial bagi peredaran narkoba. Bahkan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mencatat Indonesia masuk dalam jajaran segitiga emas perdagangan narkoba bersama Australia, dan Malaysia. “Berdasarkan catatan Badan Narkotika Nasional (BNN) pengguna narkoba di Indonesia lebih dari 3 juta orang pada kelompok umur 10-59 tahun. Ironisnya 27% dari jumlah pengguna tersebut adalah mereka yang berstatus pelajar dan mahasiswa,” katanya. 

(ysw)






[Ikuti Indovizka.com Melalui Sosial Media]


Tulis Komentar