Hasil Inspeksi BPOM: Proses Vaksin Nusantara Bermasalah

Kepala BPOM RI Penny Lukito. (Dok. Kominfo RI)

(INDOVIZKA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menjelaskan kronologi Vaksin Nusantara dari awal inspeksi sampai pada keputusan tak berikan izin edar.

Kepala BPOM Penny K Lukito menjelaskan, awalnya tim vaksin nusantara mengajukan protokol untuk uji klinis fase satu, dua, dan tiga pada 23 November 2020.

Namun, saat itu BPOM menolak protokol tersebut sebab tidak sesuai dengan standar tahapan pengembangan obat dan vaksin.

"Untuk itu uji klinis vaksin dendritik harus dilaksanakan mulai fase satu terlebih dahulu sebelum fase dua dan tiga," kata Penny K Lukito melalui keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (14/4/2021).

Penny mengatakan, pihak peneliti Vaksin Nusantara menyatakan pengajuan uji klinis fase satu dilakukan pada 30 November 2020. Namun, pengajuan uji klinis itu tidak disertai dengan data pengujian praklinis.

Atas dasar itu, BPOM kemudian meminta tim Vaksin Nusantara untuk menyerahkan laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan adjuvan, dan studi lain yang mendukung pemilihan dosis dan rute pemberian. Sebab, kata Penny, produk jadi mengandung Spike SARS-CoV-2 yang diperoleh terpisah dari sel dendritik.

Namun, permintaan tersebut tidak dipenuhi peneliti tim vaksin nusantara dan sponsornya. Alasan mereka, kata Penny, penggunaan sel dendritik sudah lama digunakan dan aman pada manusia, bersifat autologous dan tidak menggunakan zat tambahan lain. Kemudian, Dosis dan toksisitas merujuk pada hasil uji klinis untuk indikasi lain.

Atas alasan yang disampaikan, Penny mengatakan hal tersebut tidak sesuai karena sel dendritik yang selama ini digunakan adalah untuk terapi kanker, bukan buat vaksin atau pencegahan penyakit.

"Selain itu penggunaan sel dendritik pada vaksin ditambahkan Antigen virus (bagian dari virus SARS CoV-2) dan zat tambahan lainnya untuk menjadikan sel dendritik tersebut menjadi vaksin," jelasnya.

Kemudian, pada 1 Desember 2020, Badan POM menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase satu. Namun, dengan mempertimbangkan aspek keamanan pada subjek dan tidak tersedianya uji preklinis. Sehingga pada PPUK tersebut, BPOM menambah setidaknya lima poin utama ketentuan khusus.

Namun, Ketentuan pada PPUK tidak dilaksanakan dengan baik oleh tim Vaksin Nusantara.

"Hal ini diketahui pada saat inspeksi," ujar Penny.

Pada 14-15 Desember 2020, Badan POM melakukan inspeksi ke center uji klinis RSUP dr Kariadi di Semarang, Jawa Tengah. BPOM mendapatkan temuan yang bersifat kritis dan mayor yang harus diperbaiki.

Penny mengatakan tim Vaksin Nusantara melakukan uji klinis fase satu di RSUP Dr. Kariadi sejak 22 Desember 2020 dengan jumlah subyek penelitian sebanyak 28 orang.

Kemudian pada 15 dan 29 Januari, 9 dan 18 Februari 2021, peneliti tim vakisnasi nusantara telah menyampaikan hasil data interim uji klinis fase satu mereka dari pengamatan keamanan 14 hari dan imunogenisitas selama 1 bulan setelah pemberian vaksin uji. Namun, data yang disampaikan berubah-ubah.

Data tersebut kemudian diterima BPOM. BPOM langsung mengevaluasi dan membahasnya bersama Tim KOMNAS Penilai Obat, dan juga para ahli ad-hoc di bidang vaksin (Tim dari ITAGI, Dokter spesialis Alergi Imunologi, Ahli Biologi Molekular).

Dari pembahasan tersebut, kata Penny, masih terdapat ketidaksesuai pelaksanaan uji kinik dengan standar Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practice (GCP).

Sehingga, pada 24 Februari 2021 Badan POM meminta peneliti untuk memberikan klarifikasi dalam forum dengar pendapat peneliti kepada Badan POM dan tim KOMNAS penilai obat dan tim ahli terkait.

Selanjutnya, pada 12 - 13 Maret 2021, Tim BPOM kembali melakukan Inspeksi ke center uji klinis RSUP Dr Kariadi dan laboratorium pemeriksaan imunogenisitas Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan.

"Untuk memastikan pelaksanaan seluruh aspek Good Laboratory Practice (GLP), Good Manufacturing Practice (GMP), dan GCP termasuk fasilitas yang digunakan dalam penelitian dan validitas data keamanan dan imunogenisitas yang diserahkan melalui verifikasi langsung ke dokumen sumber," jelas Penny.

Sebelumnya, Penny mengatakan tim BPOM telah melakukan beberapa kali Inspeksi dan desk konsultasi dengan peneliti, tetapi hasil inspeksi tidak ditindaklanjuti dengan menyelesaikan CAPA.

Dari hasil inspeksi tersebut di antaranya adalah produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril, produk antigen SARS CoV-2 yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan vaksin dendritik ini bukan merupakan Pharmaceutical grade, dan dinyatakan produsen (Lake Pharma-USA) bahwa tidak dijamin sterilitasnya.

"Antigen tersebut penggunaannya hanya untuk riset di laboratorium bukan untuk diberikan kepada manusia," kata dia.

Selain itu, hasil produk pengolahan sel dendritik yang menjadi vaksin tidak dilakukan pengujian sterilitas dengan benar sebelum diberikan kepada manusia.

Ia melanjutkan, pada produk akhir dari vaksin dendritik tidak dilakukan pengujian kualitas sel dendritik, peneliti tim vaksin nusantara hanya menghitung jumlah selnya saja. Penny menyebut dari 19 yang diukur, terdapat 3 sediaan yang di luar standar tetapi tetap dimasukkan.

Penny menjelaskan masih banyak lagi ketidaksesuaian vaksin nusantara dengan standar yang seharusnya seperti pada aspek pemenuhan GLP dan GCP.

Dengat hasil temuan-temuan tersebut, Penny menyarankan sebaiknya penelitian ini dikembangkan dahulu di preklinis sebelum masuk ke uji klinis untuk mendapatkan konsep dasar yang jelas. Sehingga, sambungnya, pada uji klinis di manusia nantinya bukanlah sebuah percobaan yang belum pasti.

Selain itu, kegiatan penelitian preklinis tim vaksin nusantara sebaiknya didampingi tim dari Kemenristek/BRIN.

"Hal ini sesuai dengan hasil kesepakatan pada RDP-DPR tanggal 10 Maret 2021," ucap Penny.

Perhatian Utama BPOM atas Vaksin Nusantara

Pada rilisnya terebut, Penny mengatkaan hal-hal yang menjadi perhatian utama terkait Vaksin Nusantara adalah:

"Semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik ini di Import dari USA (antigen, GMCSF, medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan)," kata dia.

Oleh karena itu, sambungnya, jika akan dilakukan transfer teknologi dan dibuat di Indonesia membutuhkan waktu yang lama mengingat sampai saat ini Industri Farmasi yang bekerjasama dengan AIVITA Biomedica Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi. Menurut pihaknya setidaknya butuh waktu 2 - 5 tahun untuk mengembangkan di Indonesia.

"Berdasarkan penjelasan CEO AIVITA Indonesia, mereka akan mengimport obat-obatan sebelum produksi di Indonesia," kata Penny.

Penny menerangkan metode pembuatan dan paten dimiliki AIVITA Biomedica, sehingga meskipun ada transfer pengetahuan kepada staf di RS Kariadi masih ada beberapa hal yang masih belum dijelaskan secara terbuka.

"Seperti campuran medium sediaan vaksin yang digunakan," kata dia.

Kemudian dalam pelaksanaan uji klinis ini dilakukan peneliti dari AIVITA yakni orang asing yang bekerja di Indonesia untuk meneliti menggunakan subyek orang Indonesia. Dan, sambungnya, tidak dapat ditunjukkan izin penelitian bagi peneliti asing di Indonesia.

Terakhir, data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam electronic case report form menggunakan sistem elektronik dengan nama redcap cloud yang dikembangkan AIVITA Biomedical Inc dengan server di Amerika.

"Kerahasiaan data dan transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian penelitian, karena tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan AIVITA Biomedical Inc. USA," kata dia.

Polemik vaksin Nusantara mengemuka lagi dalam beberapa terakhir. Terutama etelah diketahui sejumlah pihak dilaporkan telah menjalani pengambilan sampel darah yang menjadi metode pelaksanaan vaksin Nusantara, yakni menggunakan pendekatan sel dendritik.

Pengambilan sampel darah diikuti oleh sejumlah anggota DPR lintas fraksi. Di antaranya yakni Wakil Ketua Komisi DPR, Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melki Laka Lena.






Tulis Komentar