Pilihan
Polemik Kasus Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tak Diproses Hukum

JAKARTA (INDOVIZKA) - "Untuk korupsi di bawah Rp50 juta, diselesaikan dengan cara pengembalian."
Demikian kata Jaksa Agung ST Burhanuddin saat rapat bareng Komisi III DPR RI, kemarin. Tujuannya, supaya proses hukum berlangsung secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
Pun, perkara korupsi dana desa di bawah Rp50 juta cukup diselesaikan secara administratif. Alasan Burhanuddin, karena perbuatan korup dana desa tidak dilakukan secara terus-menerus.
- Kemenag akan Terbangkan Jemaah Haji Tahun 2022 dari Sembilan Embarkasi
- BLT Subsidi Gaji Rp1 Juta Cair, Penerima Wajib Penuhi Syarat Ini
- Gara-gara Indonesia Tak Ekspor Minyak Goreng, India Panik dan Malaysia Kewalahan
- Mau Tukar Uang Baru Secara Online, Begini Caranya
- Catat! Ini Daftar Barang dan Jasa yang Kena PPN 11 Persen
Sementara bagi koruptor dana desa dapat dihukum dengan pembinaan inspektorat. "Terhadap pelaku dilakukan pembinaan oleh inspektorat agar tidak mengulangi lagi perbuatannya."
Menyikapi itu, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan mengingatkan tidak ada batasan nominal kerugian negara bisa menggugurkan kasus hukum tersebut dalam UU Tipikor.
Pasal 4 Undang-undang Tipikor menyebut jika pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan proses pidana.
"Dalam UU Tipikor tidak mengenal batasan angka korupsi untuk tidak dilanjutkan proses pidana," kata Yuris saat dihubungi merdeka.com, Jumat (28/1).
Dikhawatirkan, pernyataan Jaksa Agung malah dijadikan 'senjata' untuk meringankan hukuman bagi koruptor.
"Praktiknya pengembalian tersebut hanya akan menjadi alasan yang meringankan," ujar Yuris.
Padahal, Yuris menilai bila kejahatan tindak pidana korupsi sebetulnya tidak bisa dilihat hanya dari angka kerugian keuangan negaranya. Bagaimanapun tindakan korupsi bisa memberikan efek domino.
Yuris mengambil contoh korupsi pengadaan senilai Rp50 juta bisa berdampak hilangnya akses publik yang semestinya bisa bermanfaat.
Tetap Harus Dipidana
Senada, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari mengatakan jika ditujukan agar proses hukum berjalan cepat, maka cara tersebut kurang tepat.
Tita menegaskan, ICJR, pada prinsipnya mendukung upaya efektivitas sistem peradilan pidana dan penggunaan alternatif pemidanaan selain penjara untuk semua jenis tindak pidana, termasuk korupsi jika memang dimungkinkan.
Akan tetapi, proses peradilannya, seperti penyidikan sampai pembuktian persidangan, tentu tetap harus sesuai due process.
Selain untuk melindungi hak-hak fair trial terdakwa, misalnya untuk membela diri karena ada prinsip praduga tak bersalah dan lain sebagainya, tujuan lain dari melaksanakan proses hukum adalah agar dapat memastikan akuntabilitas selama proses pengusutan kasus tersebut.
"Ada otoritas hakim untuk memutus pelaku bersalah atau tidak bersalah, untuk menghindari tebang pilih juga dan memastikan pelaku bisa dijatuhi pidana secara proporsional," kata dia.
Selain itu, menjalankan proses pidana juga bertujuan untuk memastikan keutuhan konstruksi perkara, sehingga seluruh fakta harus bisa diungkap di persidangan.
"Sampai nanti hakim yang akan menentukan dengan mempertimbangkan semua bukti soal kerugian negaranya jadinya berapa," kata Tita.
Berita Lainnya
Mendagri: Sumut dan Riau Harus Siap Terima PMI
Kakorlantas Tegaskan Samsat Berbasis Digital Permudah Warga Bayar Pajak Kendaraan
Hampir 200 Ribu Wajib Pajak Dapat Insentif di Tengah Corona
Gamelan Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO
Revisi UU ASN Justru Mempersempit Peluang Honorer K2?
Kasus Abu Janda, Ketua MUI: Tes untuk Kapolri Baru
Menko Luhut Klaim Kebijakan Karantina Pejabat Dilakukan Secara Terukur
PWI Tolak Pasal-Pasal Menghalangi Kebebasan Pers
114 pengungsi Rohingya di Aceh Bakal Dipindahkan ke Pekanbaru
Ada Omicron, Tito Karnavian Kasih PR Vaksinasi ke Pemprov Riau
Kapolri Yakin Eks Pegawai KPK Bisa Dongkrak Indeks Persepsi Korupsi
Himpunan Wiraswasta Migas Pastikan Toilet SPBU akan Gratis