Jaksa Agung Pertimbangkan Hukuman Mati Kasus Korupsi, Begini Aturan Hukuman Mati


JAKARTA (INDOVIZKA) - Jaksa Agung ST Burhanudin menyatakan bahwa ia menyoroti kasus korupsi yang terjadi di Jiwasraya dan Asabri yang saat ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Aung (Kejagung). ST Burhanudin mengatakan bahwa ia sangat prihatin terhadap korupsi yang terjadi di dua perusahaan tersebut dan hal ini mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar. Dua kasus itu, kerugian negara yang ditimbulkan adalah Rp 16,8 triliun dari Jiwasraya dan Rp 22,78 triliun dari Asabri.

Bahkan, ST Burhanudin disebut-sebut sedang melakukan kajian untuk menerapkan hukuman mati supaya terjadi rasa keadilan dalam penuntutan perkara yang dimaksud.

Keprihatinan Jaksa Agung dan peluang terjadinya hukuman mati bagi koruptor dalam dua perkara tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak melalui rilis pers, Kamis, 28 Oktober 2021.

“Perkara Jiwasraya menyangkut hak orang banyak dan hak pegawai dalam jaminan sosial, demikian pula perkara korupsi yang terjadi di Asabri berkaitan dengan hak seluruh prajurit, di mana ada harapan besar untuk masa pensiun dan masa depan keluarga mereka di hari tua nanti,” kata Leonard.

Oleh karena itu, Jaksa Agung sedang mengkaji untuk menerapkan tuntutan hukuman mati bagi para terdakwa dalam perkara tersebut.

“Bapak Jaksa Agung sedang melakukan kajian untuk kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan dalam dua perkara tersebut,” kata Leonard.

Lalu, bagaimana sebenarnya aturan hukuman mati bagi koruptor dalam bingkai aturan hukum di Indonesia?

Secara eksplisit, aturan mengenai hukuman mati bagi koruptor tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 2 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Yang dimaksud keadaan tertentu sudah dijelaskan dalam UU No 31 Tahun 1999 dalam bagian penjelasan, yaitu tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan militer.

Dari aturan tersebut sudah jelas bahwa hukuman mati bisa diterapkan bagi pelaku koruptor di Indonesia dengan beberapa syarat tertentu. Tentu, masih ingatan di pikiran publik mengenai wacana hukuman mati bagi Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial, dalam kasus korupsi bantuan sosial dan pada akhirnya hukuman mati bagi Juliari tidak diterapkan. Walaupun beberapa pihak sudah melihat bahwa korupsi yang dilakukan oleh Juliari sudah memenuhi syarat yang diminta untuk menjatuhkan hukuman mati






[Ikuti Indovizka.com Melalui Sosial Media]


Tulis Komentar